Posted by : Forum Astronom Amatir Indonesia - FAAI Minggu, 04 Agustus 2013

Foto: APAKAH MANUSIA BENAR-BENAR sendirian menghuni semesta raya? Lantas bagaimana jika manusia musnah? Sejak akal budi disematkan dalam benak manusia, pertanyaan ini senantiasa mengusik. Ketika Adam menghuni surga, dia dicekam kesepian karena sendirian. Dia meminta Tuhan menciptakan teman untum dirinya. Tuhan pun menciptakan Hawa untuk memecah kesepian Adam. Rupanya, sudah menjadi fitrah manusia mencari teman. Tidak hanya di surga, tetapi juga di semesta.

Memang menarik meninjau tentang dunia yang jamak. Referensi tertua yang ditemukan tentang kehidupan luar bumi adalah puisi Orpheus. Tokoh mitologi legendaris sekitar 1400 SM ini menulis, Bulan adalah tanah yang subur di mana kota-kota dan istana telah dibangun makhluk luar angkasa. Pandangan serupa diungkapkan filsuf Xenophanes dan Anaxagoras (sekitar abad ke-5 SM). Plato juga percaya bahwa semua planet biaa didiami.

Penyair dan filsuf Romawi yang hidup pada abad pertama SM, Lucretius, menulis bahwa langit penuh dengan berbagai bangsa dan binatang dari segala jenis. Spekulasi tentang kemungkinan kehidupan cerdas ekstraterrestrial memang memiliki sejarah panjang. Setidaknya filsuf Yunani, Democritus (460-370 SM), percaya bahwa ada dunia yang jumlahnya tidak terbatas. Masing-masing dihuni planet. Ia juga yakin bahwa Bulan dihuni makhuk hidup.

Pendapat Democritus ini banyak diteruskan pengikutnya seperti Epicurus, seorang filsuf Yunani pada abad ke-4 SM. Epicurus percaya dunia  tak terbatas. Baru setelah pemikiran ilmiah berkembang, filsuf Yunani mulai berhati-hati berspekulasi tentang dunia lain. Hipotesa mereka disandarkan pada argumen yang lebih ketat.

Pytagoras menegaskan bahwa keberadaan kehidupan di planet lain tergantung pada kondisi lingkungan--khususnya temperatur. Plutarch (abad pertama Masehi) berpendapat bahwa Bulan harus steril dan perawan, karena terlalu panas pada siang hari serta udara sangat tipis dan kering.

Di ranah Pasundan, Jawa Barat terkenal cerita Nyai Anteh, Sanf Penunggu Bulan. Emban Putri Endahwarni dari Kerajaan Pakuan itu dikejar-kejar Antakusuma--calon suaminya. Atas pertolongan Tuhan, dia bersama kucingnya terangkat ke Bulan. Sejak itu, anak-anak kecil di Jawa Barat serig mendengar cerita bahwa jika pergi ke Bulan, mereka akan bertemu Nyai Anteh dan kucingnya. Bayangan keduanya bisa terlihat jelas saat Bulan Purnama tiba.

Era Islam juga memunculkan beberapa pendapat yang berusaha menafsirkan beberapa ayat-ayat Al Qur'an yang menyiratkan adanya spesies lain di alam semesta. Meski ayat-ayat nampak menekankan pentingnya manusia. Dengan begitu, menjadi kurang relevan bahwa makhluk luar angkasa versi Al Qur'an adalah spesies yang cerdas, sadar, dan nalar.

Dikutip dari buku "Jejak Kehidupan di Planet Lain"

Admin -HAZ- 
APAKAH MANUSIA BENAR-BENAR sendirian menghuni semesta raya? Lantas bagaimana jika manusia musnah? Sejak akal budi disematkan dalam benak manusia, pertanyaan ini senantiasa mengusik. Ketika Adam menghuni surga, dia dicekam kesepian karena sendirian. 

 Dia meminta Tuhan menciptakan teman untum dirinya. Tuhan pun menciptakan Hawa untuk memecah kesepian Adam. Rupanya, sudah menjadi fitrah manusia mencari teman. Tidak hanya di surga, tetapi juga di semesta.

Memang menarik meninjau tentang dunia yang jamak. Referensi tertua yang ditemukan tentang kehidupan luar bumi adalah puisi Orpheus. Tokoh mitologi legendaris sekitar 1400 SM ini menulis,  Bulan adalah tanah yang subur di mana kota-kota dan istana telah dibangun makhluk luar angkasa. Pandangan serupa diungkapkan filsuf Xenophanes dan Anaxagoras (sekitar abad ke-5 SM). Plato juga percaya bahwa semua planet biaa didiami.



Penyair dan filsuf Romawi yang hidup pada abad pertama SM, Lucretius, menulis bahwa langit penuh dengan berbagai bangsa dan binatang dari segala jenis. Spekulasi tentang kemungkinan kehidupan cerdas ekstraterrestrial memang memiliki sejarah panjang. 

Setidaknya filsuf Yunani, Democritus (460-370 SM), percaya bahwa ada dunia yang jumlahnya tidak terbatas. Masing-masing dihuni planet. Ia juga yakin bahwa Bulan dihuni makhuk hidup.

Pendapat Democritus ini banyak diteruskan pengikutnya seperti Epicurus, seorang filsuf Yunani pada abad ke-4 SM. Epicurus percaya dunia tak terbatas. Baru setelah pemikiran ilmiah berkembang, filsuf Yunani mulai berhati-hati berspekulasi tentang dunia lain. Hipotesa mereka disandarkan pada argumen yang lebih ketat.

Pytagoras menegaskan bahwa keberadaan kehidupan di planet lain tergantung pada kondisi lingkungan--khususnya temperatur. Plutarch (abad pertama Masehi) berpendapat bahwa Bulan harus steril dan perawan, karena terlalu panas pada siang hari serta udara sangat tipis dan kering.

Di ranah Pasundan, Jawa Barat terkenal cerita Nyai Anteh, Sanf Penunggu Bulan. Emban Putri Endahwarni dari Kerajaan Pakuan itu dikejar-kejar Antakusuma--calon suaminya. Atas pertolongan Tuhan, dia bersama kucingnya terangkat ke Bulan. 

Sejak itu, anak-anak kecil di Jawa Barat serig mendengar cerita bahwa jika pergi ke Bulan, mereka akan bertemu Nyai Anteh dan kucingnya. Bayangan keduanya bisa terlihat jelas saat Bulan Purnama tiba.

Era Islam juga memunculkan beberapa pendapat yang berusaha menafsirkan beberapa ayat-ayat Al Qur'an yang menyiratkan adanya spesies lain di alam semesta. Meski ayat-ayat nampak menekankan pentingnya manusia. Dengan begitu, menjadi kurang relevan bahwa makhluk luar angkasa versi Al Qur'an adalah spesies yang cerdas, sadar, dan nalar.

Dikutip dari buku "Jejak Kehidupan di Planet Lain"

Admin -HAZ-

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Posts

Copyright © 2013 FAAI. Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Desain oleh Riza Miftah Muharram